Sumber :
Nama : Septi Arnita
NPM : 16110450
Kelas : 4KA24
UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal
Pokok pikiran dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE), terdapat dalam pasal – pasal di bawah ini :
-
Pasal
8 Pengakuan Informasi Elektronik
-
Pasal
9 Bentuk Tertulis
-
Pasal
10 Tanda tangan
-
Pasal
11 Bentuk Asli & Salinan
-
Pasal
12 Catatan Elektronik
-
Pasal
13 Pernyataan dan Pengumuman Elektronik
Transaksi elektronik terdapat dalam pasal-pasal berikut
ini :
-
Pasal
14 Pembentukan Kontrak
-
Pasal
15 Pengiriman dan Penerimaan Pesan
-
Pasal
16 Syarat Transaksi
-
Pasal
17 Kesalahan Transkasi
-
Pasal
18 Pengakuan Penerimaan
-
Pasal
19 Waktu dan lokasi pengiriman dan penerimaan pesan
-
Pasal
20 Notarisasi, Pengakuan dan Pemeriksaan
-
Pasal
21 Catatan Yang Dapat Dipindahtangankan
UU ITE ini seharusnya menjadi penegakan hukum (law
enforcement) dan paduan hukum informasi (lex informatica) serta hukum media
(media-law). Selain itu, UU ITE ini akan bermanfaat, terlebih untuk
perlindungan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan
jaminan keamanan sistem elektronik serta penindakan kejahatan di dunia maya
(cyber crime). Dengan kata lain, adanya UU ITE ini memudahkan pula aparat
penegak hukum menjadikan segala hasil atau proses alih daya elektronik sebagai
bagian dari pembuktian dalam proses persidangan.
Kesiapan aparat
Setiap ada pengesahan sebuah undang-undang, kesiapan
aparat penegak hukum dalam menjalankan undang-undang selalu dipertanyakan,
selain sumber daya, yang harus ditingkatkan dari sisi keahlian, pengetahuan,
dan kecakapannya. Kesamaan persepsi akan pelaksanaan UU ITE ini sangat penting
bagi terjaminnya penegakan hukum. Kesamaan persepsilah yang nantinya akan
menjadi bagian utama dan berfokus pada pelaksanaan UU ITE. Hal ini karena
adanya kalimat pelanggaran kesusilaan (pornografi dan pornoaksi) dan pelanggaran
dalam bentuk pencemaran nama baik.
Aparat penegak hukum harus memiliki kesamaan pandang dan
paradigma dengan kedua istilah di atas agar di kemudian hari tidak terkesan
adanya tebang pilih dalam penegakan hukum. Pengertian pelanggaran pencemaran
nama baik juga harus secara khusus dan spesifik diatur dalam aturan pelaksanaan
UU ITE ini.
Kita belum selesai membahas apa dan bagaimana pengertian
serta makna dari unsur pornografi dan pornoaksi dalam Rancangan Undang-Undang
Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Tapi unsur turunan yang lebih luas
pengertian dan maknanya muncul dalam UU ITE ini, yaitu kesusilaan. Batasan apa
yang dipakai dalam UU ITE ini terhadap kesusilaan? Demikian pula halnya dengan
pengertian dan makna dari unsur kata "pencemaran nama baik". Dalam
kurun waktu lima tahun ke belakang, kalangan media dan narasumber masih
memperdebatkannya dalam proses persidangan.
Namun, pengertian dari pencemaran nama baik, yang tidak
ada hubungannya dengan pornografi dan pornoaksi, justru muncul dalam UU ITE
ini. Jika tidak mengenal batasan dan kesamaan persepsi dari para penegak hukum,
tentunya akan timbul masalah yang pelik dan tak berkesudahan. Perusahaan pers
dan pekerja akan mendapat satu lagi ancaman, dari sekian banyak yang sudah ada.
UU ITE ini akan menjadi landasan bagi para narasumber yang merasa dicemarkan
nama baiknya oleh pers.
Melindungi pers
Padahal, jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, Pasal 4 ayat (1), disebutkan, "Kemerdekaan pers dijamin
sebagai hak asasi warga negara," dan pasal 4 ayat (2) menyatakan,
"Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk
mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi."
Sedangkan pasal 4 ayat (3) berbunyi, "Untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan serta informasi." Demikian pula pasal 8 telah
dengan jelas mengatur, "Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat
perlindungan hukum."
Dahulu, pada masa pemerintahan Orde Baru, mantan Menteri
Penerangan Harmoko kerap menyebut pers sebagai "insan", yang
menyamakan pers seperti manusia setengah dewa dengan tugas mulia dan penuh
perlindungan. Pers dianggap sebagai makhluk yang tak bisa disentuh oleh hukum.
Tapi kini tidak. Ada banyak persoalan yang mengancam pers. Bahkan kasus
Bersihar Lubis membuktikan seorang kolumnis pun dipidana satu bulan penjara
dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Terkait dengan pencemaran nama baik, ini dapat terjadi
pada individu yang bukan pers. Para blogger dapat dikenai sanksi Rp 1 miliar
dan penjara enam bulan jika terbukti mencemarkan nama baik seseorang. Bukankah
Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat Pasal 28-F menyatakan, "Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya. Serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang ada."
Empat asas, tiga unsur
Implementasi UU ITE ini akan banyak ditunggu masyarakat.
Namun, implementasi ini harus memiliki empat asas pemerintahan yang baik (the
general principles of good administration). Pertama, asas kepastian hukum di
mana setiap pelanggar UU ITE ini harus mendapat perlakuan yang sama. Kedua,
asas kejujuran dan keterbukaan (fair play), berarti para penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik itu,
harus bersikap adil dan membela kepentingan masyarakat tanpa keberpihakan
kepada seseorang atau segolongan orang, dan bertindak atas nama publik untuk
kepentingan masyarakat.
Ketiga, asas kepantasan dan kewajaran yang memiliki arti
setiap pelanggaran harus diperlakukan dengan pantas dan wajar, tanpa tekanan
dan paksaan dari pihak mana pun. Keempat, asas pertanggungjawaban, di mana
setiap tindakan penegak hukum harus dapat dipertanggungjawabkan, baik menurut
ketentuan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Adapun ketiga unsur pelaksanaan hukum adalah, pertama,
unsur kultural di mana para penegak hukum wajib mempertimbangkan unsur budaya
dalam masyarakat. Kedua, unsur struktural yang artinya menitikberatkan pada
penegak hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan haruslah
memegang persepsi yang sama tentang arti dan makna. Ketiga, adanya unsur
substansial, yaitu ketentuan dan pelaksanaan undang-undang itu sendiri
seharusnya memiliki efek jera terhadap pelaku dan pencegahan bagi calon pelaku.
Bukan untuk melanggengkan kekuasaan atau untuk menjadikan
kita bangsa yang anti-kritik. Lebih dari itu, UU ITE bukanlah UU Pencemaran
Nama Baik atau UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang mencantumkan pengertian
"substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan
gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau
erotika", sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi
seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah
Ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
wilayah Indonesia dan /atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan indonesia.
UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan
yang memnafaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan
informasinya. Pada UUITE juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatn
melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet
dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya
bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagi bukti yang sah di pengadilan