Tugas 2 - Penulisan 4 Etika & Profesionalisme TSI
Senin, 21 April 2014 by Septi Arnita in

Sumber :


Nama : Septi Arnita
NPM    : 16110450
Kelas   : 4KA24

UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal
Pokok pikiran dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terdapat dalam pasal – pasal di bawah ini :
-          Pasal 8 Pengakuan Informasi Elektronik
-          Pasal 9 Bentuk Tertulis
-          Pasal 10 Tanda tangan
-          Pasal 11 Bentuk Asli & Salinan
-          Pasal 12 Catatan Elektronik
-          Pasal 13 Pernyataan dan Pengumuman Elektronik

Transaksi elektronik terdapat dalam pasal-pasal berikut ini :
-          Pasal 14 Pembentukan Kontrak
-          Pasal 15 Pengiriman dan Penerimaan Pesan
-          Pasal 16 Syarat Transaksi
-          Pasal 17 Kesalahan Transkasi
-          Pasal 18 Pengakuan Penerimaan
-          Pasal 19 Waktu dan lokasi pengiriman dan penerimaan pesan
-          Pasal 20 Notarisasi, Pengakuan dan Pemeriksaan
-          Pasal 21 Catatan Yang Dapat Dipindahtangankan

UU ITE ini seharusnya menjadi penegakan hukum (law enforcement) dan paduan hukum informasi (lex informatica) serta hukum media (media-law). Selain itu, UU ITE ini akan bermanfaat, terlebih untuk perlindungan hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan jaminan keamanan sistem elektronik serta penindakan kejahatan di dunia maya (cyber crime). Dengan kata lain, adanya UU ITE ini memudahkan pula aparat penegak hukum menjadikan segala hasil atau proses alih daya elektronik sebagai bagian dari pembuktian dalam proses persidangan.

Kesiapan aparat
Setiap ada pengesahan sebuah undang-undang, kesiapan aparat penegak hukum dalam menjalankan undang-undang selalu dipertanyakan, selain sumber daya, yang harus ditingkatkan dari sisi keahlian, pengetahuan, dan kecakapannya. Kesamaan persepsi akan pelaksanaan UU ITE ini sangat penting bagi terjaminnya penegakan hukum. Kesamaan persepsilah yang nantinya akan menjadi bagian utama dan berfokus pada pelaksanaan UU ITE. Hal ini karena adanya kalimat pelanggaran kesusilaan (pornografi dan pornoaksi) dan pelanggaran dalam bentuk pencemaran nama baik.

Aparat penegak hukum harus memiliki kesamaan pandang dan paradigma dengan kedua istilah di atas agar di kemudian hari tidak terkesan adanya tebang pilih dalam penegakan hukum. Pengertian pelanggaran pencemaran nama baik juga harus secara khusus dan spesifik diatur dalam aturan pelaksanaan UU ITE ini.

Kita belum selesai membahas apa dan bagaimana pengertian serta makna dari unsur pornografi dan pornoaksi dalam Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Tapi unsur turunan yang lebih luas pengertian dan maknanya muncul dalam UU ITE ini, yaitu kesusilaan. Batasan apa yang dipakai dalam UU ITE ini terhadap kesusilaan? Demikian pula halnya dengan pengertian dan makna dari unsur kata "pencemaran nama baik". Dalam kurun waktu lima tahun ke belakang, kalangan media dan narasumber masih memperdebatkannya dalam proses persidangan.

Namun, pengertian dari pencemaran nama baik, yang tidak ada hubungannya dengan pornografi dan pornoaksi, justru muncul dalam UU ITE ini. Jika tidak mengenal batasan dan kesamaan persepsi dari para penegak hukum, tentunya akan timbul masalah yang pelik dan tak berkesudahan. Perusahaan pers dan pekerja akan mendapat satu lagi ancaman, dari sekian banyak yang sudah ada. UU ITE ini akan menjadi landasan bagi para narasumber yang merasa dicemarkan nama baiknya oleh pers.

Melindungi pers
Padahal, jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 ayat (1), disebutkan, "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara," dan pasal 4 ayat (2) menyatakan, "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi."

Sedangkan pasal 4 ayat (3) berbunyi, "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi." Demikian pula pasal 8 telah dengan jelas mengatur, "Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum."

Dahulu, pada masa pemerintahan Orde Baru, mantan Menteri Penerangan Harmoko kerap menyebut pers sebagai "insan", yang menyamakan pers seperti manusia setengah dewa dengan tugas mulia dan penuh perlindungan. Pers dianggap sebagai makhluk yang tak bisa disentuh oleh hukum. Tapi kini tidak. Ada banyak persoalan yang mengancam pers. Bahkan kasus Bersihar Lubis membuktikan seorang kolumnis pun dipidana satu bulan penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Terkait dengan pencemaran nama baik, ini dapat terjadi pada individu yang bukan pers. Para blogger dapat dikenai sanksi Rp 1 miliar dan penjara enam bulan jika terbukti mencemarkan nama baik seseorang. Bukankah Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat Pasal 28-F menyatakan, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada."

Empat asas, tiga unsur
Implementasi UU ITE ini akan banyak ditunggu masyarakat. Namun, implementasi ini harus memiliki empat asas pemerintahan yang baik (the general principles of good administration). Pertama, asas kepastian hukum di mana setiap pelanggar UU ITE ini harus mendapat perlakuan yang sama. Kedua, asas kejujuran dan keterbukaan (fair play), berarti para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik itu, harus bersikap adil dan membela kepentingan masyarakat tanpa keberpihakan kepada seseorang atau segolongan orang, dan bertindak atas nama publik untuk kepentingan masyarakat.

Ketiga, asas kepantasan dan kewajaran yang memiliki arti setiap pelanggaran harus diperlakukan dengan pantas dan wajar, tanpa tekanan dan paksaan dari pihak mana pun. Keempat, asas pertanggungjawaban, di mana setiap tindakan penegak hukum harus dapat dipertanggungjawabkan, baik menurut ketentuan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Adapun ketiga unsur pelaksanaan hukum adalah, pertama, unsur kultural di mana para penegak hukum wajib mempertimbangkan unsur budaya dalam masyarakat. Kedua, unsur struktural yang artinya menitikberatkan pada penegak hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan haruslah memegang persepsi yang sama tentang arti dan makna. Ketiga, adanya unsur substansial, yaitu ketentuan dan pelaksanaan undang-undang itu sendiri seharusnya memiliki efek jera terhadap pelaku dan pencegahan bagi calon pelaku.

Bukan untuk melanggengkan kekuasaan atau untuk menjadikan kita bangsa yang anti-kritik. Lebih dari itu, UU ITE bukanlah UU Pencemaran Nama Baik atau UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang mencantumkan pengertian "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika", sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah Ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan /atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan indonesia.

UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memnafaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatn melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagi bukti yang sah di pengadilan


Posting Komentar